Kujang adalah senjata tradisional masyarakat Sunda, dikatakan senjata karena secara umum masyarakat Sunda memahaminya sebagai sebuah pisau yang bentuknya menyerupai alat tikam. Namun, jika dilakukan penelusuran lebih lanjut, berdasarkan artefak-artefak yang sampai pada kita saat ini, kujang sebagai sebuah pisau tidak saja menyerupai alat tikam tetapi ada pula yang secara fungsional dapat dikenali sebagai sebuah perkakas, kelengkapan upacara, simbol, dsb.
Kujang sebagai sebuah senjata andalan (gagaman) umumnya mempunyai ciri-ciri khusus sebagai kelebihannya, umumnya berbahan pamor. Pamor adalah motif, corak, atau kontur tertentu pada bilah sebuah senjata tajam yang dihasilkan dari penggunaan berbagai material, pembakaran, dan teknik penempaan logam. Kujang pamor sebagai sebuah gagaman atau pusaka, umumnya tidak digunakan secara langsung dalam sebuah perkelahian. Kujang biasanya dijadikan sebagai teman berperang (batur ludeung) atau senjata pamungkas di samping sebagai simbol dari si pemegangnya. Kujang sebagai sebuah perkakas di antaranya adalah sebagai pisau dapur, kujang bangkong yang penulis dapatkan dari Wanaraja Garut dan sekarang menjadi koleksi Museum Sri Baduga Jawa Barat; sebagai kelengkapan upacara di antaranya adalah kujang yang tersimpan di Kabuyutan Ciburuy di Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut; dan sebagai sebuah simbol di antaranya adalah kujang jago (bentuknya mirip dengan figur ayam jago yang sedang berkokok), penulis dapatkan sebagai hadiah dari seorang kerabat.
Kujang dengan berbagai bentuknya, baik itu sebagai benda yang dipergunakan dalam tataran fungsional ataupun simbolik, menarik untuk dikaji lebih lanjut. Salahsatu aspek di antaranya adalah bentuk kujang itu sendiri. Sebagai sebuah pisau, kujang tampil dengan estetis sehingga menarik untuk dilihat. Bentuk kujang tidak mengintimidasi mata dan perasaan penikmatnya, berbeda jika kita melihat bentuk pisau lainnya: mengerikan karena seolah bisa menyayat dan mengoyak tubuh kita.
Lambang Kebanggaan Untuk mengangkat kembali citra kujang sebagai senjata tradisional masyarakat Sunda dalam tataran bentuk yang kongkrit diperlukan sebuah upaya untuk menghadirkan kembali produk kujang yang dapat memberikan kesan atau impresi mengagumkan. Jika kesan indah yang bersifat feminim yang hendak ditampilkan, maka ketika memperlihatkan sebuah kujang berikut dengan kelengkapan lainnya seperti pegangan, sarung, dan kotaknya, maka yang diperlihatkan itu adalah bilah kujang yang meliuk indah bak seorang putri sedang menari dengan kelenturan tubuhnya, pegangan (ganja atau landean) dan sarungnya (kopak atau kowak) yang menambah pantas bak pakaian yang dikenakan oleh putri yang sedang menari tadi, pun dengan kotaknya yang mengemas secara utuh dan menyeluruh berikut dengan menambah nilai kujang itu sendiri.
Untuk menghadirkan sebuah kujang yang dapat dibanggakan tersebut, maka diperlukan sebuah penghayatan yang mendalam tentang hal-ihwal tentang kujang itu sendiri. Terlebih jika hendak menghadirkan kujang sebagaimana kujang yang dibuat oleh para empu terdahulu, kujang pamor tangguh Pajajaran misalnya. Berkaitan dengan kujang pamor tangguh Pajajaran, beberapa narasumber menyatakan bahwa ciri-cirinya dapat dikenali dari karakteristik bilah kujang yang cenderung tipis, bahannya bersifat kering, berpori, dan banyak mengandung unsur logam alam. Ciri-ciri tersebut merupakan ciri tersendiri yang berbeda dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh senjata tradisional lainnya dari periode yang sama, terlebih dari periode yang lebih muda. Adalah satu tantangan tersendiri untuk menghadirkan kembali kujang pamor tangguh Pajajaran karena semua aspek yang melingkupi teknik pembuatannya belum dapat dilacak sepenuhnya, yang ada hanya berupa perkiraan berdasarkan pengamatan atas artefak-artefak yang sampat pada saat ini.
Dilihat dari tampak bilah kujang pamor tangguh Pajajaran, bahan bakunya diperkirakan langsung mengambil dari alam yang lokasinya belum diketahui secarapasti, bahan baku tersebut berupa pasir besi pilihan. Di samping bahan baku, berita atau sumber yang menyebutkan teknik pengerjaannya pun tidak ada. Walaupun sampai saat ini --dapat dikatakan-- belum ada yang berhasil menghadirkan kembali kujang pamor tangguh Pajajaran, telah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh beberapa pencinta senjata tradisional untuk mengenalkan kembali kujang pamor dengan bahan baku standar industri, seperti Standar Nasional Indonesia (SNI), Japan Industrial Standar (JIS), atau standar industri Jerman (Bohler).
Penguatan Kapasitas Pengrajin Pengerjaan benda-benda logam secara tradisional dikerjakan oleh panday besi. Di Jawa Barat dan Banten, pengerjaan logam secara`tradisional tersebar di beberapa tempat, seperti Citaman-Ciomas, Cibatu-Cisaat, Pasirjambu-Ciwidey, Ciheulang-Majalaya, Barlen-Tanjungsiang, Galonggong-Manonjaya, dsb. yang saat ini umumnya hanya mengerjakan pembuatan alat-alat pertanian dengan tungku dan peralatan yang sederhana. Dalam mengerjakan pembuatan alat-alat pertanian, para panday besi di atas umumnya menggunakan bahan baku berupa besi, per mobil, rel kereta, selongsong bom, dan bahan bahan bekas pakai lainnya. Adapun dalam pengerjaannya, umumnya mengandalkan intuisi dan pengalaman yang diperoleh secara turun-temurun yang mengakibatkan pada keterbatasan dalam hal pengetahuan karakteristik bahan yang digunakan dan perlakuan sebagaimana mestinya. Di samping itu, dalam hal pengerjaannya pun seolah dikejar oleh banyaknya jumlah hasil pekerjaan karena umumnya para panday besi tersebut terikat atau diikat oleh bandar yang kuat modalnya. Rekonstruksi Kujang Pamor Keahlian para panday besi yang masih setia menggeluti pekerjaan menempa berbagai bahan logam dan peralatan tempa yang dimilikinya saat ini pada dasarnya berupa modal dasar yang telah tersedia. Modal dasar yang bisa diajak bekerjasama untuk melakukan serangkaian percobaan dalam hal pengerjaan kujang pamor.
Adalah Teddy Kardin di Hegarmanah Bandung, Dadang Caribou di Majalaya, dan Bayu S. Hidayat (Gosali Pamor Siliwangi) di Pasirjambu Ciwidey yang telahmelakukan inisisasi untuk menghadirkan kembali keberadaan kujang pamor yang layak dari segi bahan baku, pengerjaan, dan pengemasannya. Pamor adalah semacam tekstur pada bilah senjata tradisional berupa pisau yang terbentuk dari dua unsur logam atau lebih yang dihasilkan dari proses pelipatan dengan teknik tempa tinggi. Berdasarkan katalog yang ada, bahan baku pembuatan kujang pamor tersebut adalah bahan baku standar industri yang memiliki karakteristik dan standar perlakuan tertentu berdasarkan standar industri logam penghasilnya. Jenis logam yang digunakan terdiri baja carbon tinggi, medium, dan nikel.
Keberhasilan Teddy Kardin, Dadang Caribou, dan Bayu S. Hidayat dalam menghadirkan kujang pamor, pada dasarnya merupakan perpaduan dari pengetahuan tentang bahan baku, perlakuan bahan, dan pelibatan para panday besi dalam pengerjaannya. Dalam hal ini, kujang pamor yang dihasilkannya merupakan hasil dari pekerjaan tangan (handmade knife). Berdasarkan pengamatan atas produk kujang pamor hasil rekonstruksi yang dilakukan oleh Kardin, Dadang Caribou, dan Bayu S. Hidayat selama ini, walaupun belum sampai pada kujang pamor tangguh Pajajaran seutuhnya, kiranya kujang pamor tersebut sudah layak dijadikan sebagai kebanggaan masyarakat Jawa Barat.
Adapun jika terdapat sebuah keinginan untuk menghadirkan kembali kujang tangguh Pajajaran, kiranya diperlukan sebuah kerjasama yang lebih intensif dari berbagai kalangan pemerhati dan pencinta kujang. Hal tersebut didasarkan pada satu kenyataan bahwa walaupun artefak kujang dari tinggalan jaman kerajaan Pajajaran banyak dikoleksi oleh beberapa kolektor, namun sampai ini belum diketahui secara pasti bahan baku dan teknik pembuatannya. Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya sumber lisan atau tulisan mengenai kujang pamor tangguh Pajajaran sudah waktunya untuk dimunculkan kembali ke permukaan.
0 komentar:
Posting Komentar